NOSTALGIA SANDIWARA RADIO

Februari 22, 2009

Kuberi nama pedang ini naga puspa, selamatkan dia, jangan sampai jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat.

Teman-teman, Sampurasun …. Rampes …. (ups dijawab sendiri). Dahulu sandiwara radio pernah mencapai masa keemasannya, pada jaman kita belum mengenal MTV (he .. he .. adanya cuma Sanggar Cerita). Anda yang mania sandiwara radio jadoel mungkin masih ingat potongan pesan dari Empu Ranubaya di atas, pada muridnya, Arya Kamandanu, yang selalu menjadi prolog dari siaran sandiwara radio populer ini.

Booming sandiwara radio, boleh dibilang dipelopori oleh Saur Sepuh. Siapa yang tidak mengenal Ferry Fadli, Ivone Rose dan Elly Ermawati dari kerajaan Madangkara (hiks temanku suka memlesetkan menjadi kerajaan `madang sego`). Orang-orang seperti tersihir saat mendengarkan pertarungan Mantili atau rayuan maut Lasmini, tanpa perlu menilik apakah benar kerajaan Madangkara itu pernah ada dalam peta Indonesia. Pintarnya yang bikin sandiwara radio, ditengah seru-serunya pertarungan, dipotong iklan dulu, atau bersambung seri berikutnya. Sampai kami hapal jingle lagu dari iklan sponsor obat flu dan obat diare. Berarti asumsinya pecandu sandiwara radio itu rentan terkena flu dan diare, he .. he.. ngawur kok. Saya teringat, ketika tokoh Brama Kumbara dimatikan, karena banyaknya minat pendengar, episode berikutnya Brama muncul lagi.

Tutur Tinular adalah lakon berikutnya yang merajai setelah Saur Sepuh. Kisah dengan setting runtuhnya Singasari, serbuan Tar-tar dan kelahiran Majapahit ini kelihatannya digarap dengan lebih serius. Terlihat dari dialog, nama orang, dan nama jurus atau ajian, serta alur cerita yang tidak berkesan asal-asalan. Terlebih karena mengambil latar sejarah. Sandiwara ini juga pintar memikat emosi dari pendengarnya. Orang bisa dibuat geregetan dengan tingkah polah Arya Dwipangga dan Ramapati. Atau terharu dengan kesetiaan Demung Wira dan Gajah Biru.

Sayang saat suatu sandiwara radio difilmkan ke layar lebar, banyak hal yang menimbulkan kekecewaan. Padahal dalam imajinasi kita sudah terbayang akan dahsyatnya ajian Seratjiwa vs ajian Waringin Sungsang, serunya benturan antara Kidung Pamungkas vs Segoro Geni, dan mencorongnya pamor pusaka keris Megalamat-Ranggalawe atau pedang kuning-Mpu Renteng. Di benak kita sudah terlanjur terbentuk gambaran akan seperti apa nantinya penampilan dari Jaka Lumayung, Patih Gotawa, dan Sakawuni.

Selain marak sandiwara radio dengan latar kerajaan dan persilatan, pecinta drama keluarga juga mendapat tempatnya. Anda mungkin masih ingat “Ibuku malang ibu tersayang”, karya dari Eddy Suhendro. Pendengar sandiwara tersebut akan gemas mengikuti perjalanan Baskoro “si kucing buduk” yang playboy, dalam mengatasi kelihaian tokoh antagonis Pak Sasongko.

Ada juga sandiwara radio yang sekarang sudah dijadikan sinetron, yaitu Misteri Gunung Merapi, dengan lakonnya Mardian, Sembara, dan Mpok Lampir … eh Mak Lampir. Selain itu juga sejumlah sandiwara radio berbahasa Jawa. Saya ingat waktu itu pernah susah tidur karena ketakutan, sehabis mendengarkan sandiwara radio Trinil yang berbau horor. Sebuah buku yang kemudian diadaptasikan menjadi sandiwara radio juga cukup sukses. Anda mungkin pernah membaca atau mendengar Bendhe Mataram, karya Herman Pratikto, dengan lakonnya Sangaji, bersetting pada masa kompeni sudah masuk ke tanah Jawa.

Pemerintah sebenarnya tidak ketinggalan ikut juga memproduksi sandiwara radio, kalau tidak salah judulnya Butir butir pasir di laut (ini drama awet betul, sayang kurang penggemar). Eh Catatan Si Boy juga awalnya dari sandiwara radio lho, hayo ngaku siapa dulu yang mengidolakan si Boyo .. eh si Boy?

Berikut sejumlah dampak kecanduan sandiwara radio:

– Biar tidak ketinggalan, radio pun dibawa ke kamar mandi, syukurlah nggak sampai nyemplung bak mandi.

– Bisa sampai terbawa mimpi, bagaimana kalau pendekar A ketemu dengan B, pertarungannya seperti apa serunya, dst.

– Kadang terpaksa sembunyi-sembunyi juga kalau ada bagian di mana Lasmini sedang indehoy, atau pas Maysin dirayu, he he tapi cuma dikit kok saru-sarunya.

– Jadi sibuk nyariin radio mana yang mengudarakan serial terdepan, biarpun suaranya kresek-kresek nggak karuan.

– Ayah yang tadinya hanya mendengar sekilas lama-lama ikutan jadi gemar mendengarkan juga. Memang kecanduan sandiwara radio itu mudah menular.

– Jadi pengin nonton film layar lebarnya, meski kadang kecewa karena tidak sehebat bayangan kita.

– Banyak kegiatan dan tugas, termasuk acara bikin PR yang harus menyesuaikan dengan jadwal sandiwara radio

– Pas puncak-puncaknya, satu hari bisa sampai empat macam sandiwara radio yang didengerin

Memang sesuatu yang bersambung itu sekali dicoba satu seri saja, bakal ketagihan terus. Rasanya sekarang sudah jarang sandiwara radio yang bisa mencapai popularitas berskala nasional. Sebagai penutup, masih ingat mantranya Mpu Tong Bajil berikut ini:

Jagad niro jagad geni
Langit niro langit geni
Segoro niro segoro geni!!!! ciat!!!

Gimana nih, kalau buka casting Tutur Tinular & Saur Sepuh, ada yang mau daftar?

**************